Seorang lelaki tua sedang duduk diatas kursi ruang tunggu sebuah bangunan yang berumur tidak lebih tua darinya. Diantara deret kursi ruang tunggu sebuah puskesma ia termangu, menunggu sang istri tercinta sedang diperiksa oleh seorang dokter muda. Bola mata sang kakek tua masih menerawang menatap pintu ruang periksa yang masih belum terbuka, ia menunggu dengan setia atas kesehatan yang ia harapkan terhadap satu-satunya makhluk yang ia punya. Pendamping sekaligus setengah nyawa yang ia punya. Satu alasan kenapa ia masih bertahan hidup atas usia yang mulai menggerogoti tubuh yang kian renta. Satu hal yang tidak akan ia lepaskan begitu saja karena ia masih belum mau menyerahkan setengah nyawa`nya kepada sang pencipta.
"Kakek?" seorang wanita muda berparas cantik, mengenakan jas putih yang sewarna dengan kulitnya. Menyapa dengan lembut dan memandang kakek tua dengan senyum ramah. "Terima kasih telah membawa nenek kemari tepat waktu, sehingga tumornya tidak menyebar dan pengobatan akan berjalan dengan mudah jika kita membawanya ke rumah sakit di kabupaten."
Berita yang sangat menyejukkan hatinya ketika istri tercintanya bisa segera di obati, tapi mendengar kata 'kabupaten' adalah mimpi buruk karena itu berarti perjalanan yang tidak mudah bagi sepasang kekasih itu. Bukan hanya perjalanan yang akan sangat melelahkan, tapi lebih dikarenakan kabupaten adalah tempat yang tidak sebegitu ramah bagi penghuni dusun yang tinggal jauh di atas lereng gunung. "Jadi," suara pelan sang kakek tersengal oleh ludah yang ia telan. "Kami harus ke kabupaten?" Tanya sang kakek meyakinkan pendengarannya.
"Benar, kek. Hanya saja memang biayanya tidak sedikit." ucap dokter muda tadi mengurangi nada bicaranya karena ia tau persis siapa yang dia ajak bicara. Kakek tua yang sekarang duduk disampingnya hanyalah penjaga kebon di sekolah dasarnya dulu yang hingga sekarang masih juga menekuni profesi yang sama. Hanya sesekali ketika rejeki datang ia bisa ikut membantu tukang membangun rumah atau menjadi buruh panen kopi di daerahnya. Hasilnya pun belum seberapa, karena tabungan terakhir yang ia punya hanyalah sepeda ontel yang kini bersandar di halaman puskesmas.
Dokter muda menatap sepasang mata yang berkedip perlahan, manahan sesuatu yang hanya mampu ia artikan sebagai simbol kepedihan. Ia pernah mengenal sang kakek yang dulu sering mengantarnya pulang sekolah ketika orang tuanya masih menjabat sebagai lurah. Bermain dengan sang nenek di dalam rumah kecil yang terletak dibelakang sekolah, makan singkong rebus ketika istirahat sekolah yang masih menjadi makanan favorite`nya sampai sekarang. Maka ia tahu kepedihan apa yang dirasakan kakek tua di sampingnya, dan kebahagiaan macam apa yang bisa mengobatinya.
"Ayolah, kek. Tak usah dipikirkan masalah kabupaten itu.' ajak sang dokter muda sembari menggandeng tangan sang kakek, menuntunnya ke dalam ruang periksa. Mengantarnya kepada belahan nyawanya. "Biar masalah ke kabupaten nanti cucu kakek ini yang memikirkannya, sekarang kakek temani nenek dulu biar nenek bisa tenang, ya." ucap sang dokter muda merayu sang kakek memasuki ruang periksa. Lalu di tinggalnya mereka berdua merangkai saling memandang tanpa kata seperti biasa, menghabiskan sedikit masa yang mereka punya.
"Izinkan aku mencoba merubah takdir mereka ya, tuhan. Biar tangan`mu yang akhirnya menentukan akhirnya" lirih sang dokter muda berucap do`a sembari berjalan diantara lorong puskesmas yang mulai terasa sepi.
♣ -end ♣
Comments
bersykurlah kalo kita bisa bantu merubah jalan hidup orang menjadi lebih baik
ReplyDeleteaku sendiri seringkali hanya bisa trenyuh doang
dan tak bisa berbuat apa-apa...