Tidak akan pernah ada habisnya jika suatu waktu aku menggugat takdir atas kesialanku menjadi 'tidak berguna' bagi siapapun, bahkan bagi diriku sendiri. Sebegitu seringnya aku mengutuk kesialan itu hingga tidak lagi cukup waktu untuk bertindak memperbaiki keadaan. Bukan karena aku tak mampu. Hanya saja, aku terlalu pengecut untuk memulai sesuatu. Seringnya aku sudah terlanjur menyerah karena terlalu banyak bayangan kegagalan yang mengitari tempurung kepalaku.
Mulanya, hidupku berjalan normal dengan statusku sebagai seorang kepala keluarga dari seorang wanita supel dan seorang anak perempuan lucu berumur 2 tahun. Kehidupanku normal dengan rutinitas seperti kebanyakan lelaki berpenghasilan pas-pasan. Pergi bekerja di pagi hari sebagai buruh borongan dengan membawa upah yang hanya cukup dihabiskan ditiap minggunya. Meski begitu, istri dan anakku begitu bahagia menerima kesederhanaan kami. Hingga suatu waktu, kenyataan menghadapkanku pada kehidupan yang sebenarnya.
Dimana tiap harinya biaya kehidupan keluarga kami semakin besar jumlahnya. Anak yang mulai tumbuh dibarengi dengan kualitas kehidupannya. Sandang, pangan, juga pendidikan, memaksa istriku menjadi guru TK demi memenuhi kebutuhan. Meski dengan ijazah sma, ia kini dipercaya menjadi pengasuh tetap beberapa murid keluarga kaya. Aku percaya istriku mampu, ia tipikal orang yang sabar dan penyayang. Tapi, entah kenapa sifatnya mulai berubah akhir-akhir ini.
Ia mudah marah jika pulang kerja, selalu saja ada masalah yang ia ungkit tentang kebodohanku. Sekarang, ia lebih pintar memojokkanku dengan ke-tidak berguna-an ku menjadi kepala keluarga. Segala macam kata emansipasi ia teriakkan, padahal aku sudah tidak lagi paham tentang arti kata itu. Selain nama Kartini yang dulu sempat aku dengar di pelajaran sejarah kelas lima waktu sekolah dasar, kelas terakhirku.
Lalu aku menjadi seperti ini, lelaki 'tidak berguna' yang masih terus berfikir tentang kesialanku menjadi orang bodoh. Entah berapa jam aku duduk di warung kopi setelah sumpek sedari sore tadi istriku masih marah-marah. Otakku terus berfikir, mencari kata yang tepat untuk melawan kata emansipasi yang selalu diteriakkan istri ku diantara omelanya.
'onok opo, cak?!' sebuah tangan menepuk pundakku cukup keras.
'cok..!! raimu iku ngageti ae..!!' ucapku spontan pada lelaki yang kemudian duduk disebelahku.
'raimu dewe, cak.. mikir tali kutang ae sampek koyok ngono..'
'gak perkoro kutang, gobl*k...,' jawabku cepat.
'lha, terus??' tanya dia pelan sambil mengeluarkan batang tembakau darinya.
'eh, awakmu lak dosen tah..? koen ngerti kata seng cocok gae mbales omongan emansipasi..??'
Urung dibakarnya rokok yang terselip dibibirnya, dipegangnya lagi batangan kretek tadi. Entah kenapa, ia malah terdiam menatap ramai kendaraan dijalanan.
'engg..,, gobl*k pisan arek iki...,,' batinku.
♣ -end ♣
Soeroboyo, akhir april
Lungguh dewean -ga berguna- nang warkop'e ajik,
bagaimanapun emansipasi wanita,
ReplyDeletetetap ketika berhubungan dng agama *islam*
lelaki adalah pemimpin
ada pepatah,
bagi istri, surgo nunut neroko katut, suami
bagi istri, surga bukan hanya ditelapak kaki ibu, tp jg suami
itu menurutku loh sob
aku cuma bilang : yang sabar ya mas..
ReplyDelete@ inge: aku cuman nulis sisi emansipasi dari sudut pandang kebanyakan lelaki kok. Bagaimanapun background -sara- `nya, kalo ngga dibarengi pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang arti kata itu, ya tetep susah nerapin di kehidupan nyata. :D
ReplyDelete@ itik ayu: ini cuman tulisan fiksi...!! :P
bukan cerita sebenernya...,, :D
Haduh. Melegakan karena ini hanya fiksi...
ReplyDeletesalam kenal ,,
ReplyDeletemohon bantuan ,,
saya hanya anak ingusan di dunia blog ,,,
saya bingung ,, !!
'cok..!! raimu iku ngageti ae..!!'
ReplyDeletesebuah kalimat khas suroboyo banget...
sapaan "cok" itu lho...
bikin kangen sama suroboyo
wah, bahasa jawanya gak ngerti. hehee
ReplyDelete::Salam Hangat Dan Salam Perkenalan::
ReplyDeleteSaya Ijin Follow blog ini yah, jangan lupa kalau ada waktu mampir blog saya dan Follow Back yah