Selaksa mendung dalam balutan nafas imaji, aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Tentang hal yang baru saja lewat di otakku. Tentang mengapa aku terus menulis meski tak sebanyak orang tahu betapa aku tersesat di tengah hutan jati yang gelap atau tenggelam dalam palung dingin dunia nyata. Tak seorangpun tahu itu, dan apakah aku harus menulis panjang lebar agar mereka mengertiku? Ah, sepertinya menjadi egois sekali nantinya.
Ku tinggalkan compi menganga begitu saja, menuju balkon depan yang mulai jarang ku kunjungi beberapa hari ini. Duduk di atas tembok pembatas melihat lampu² kota surabaya yang belum juga padam, padahal hari mulai beranjak pagi. Mungkin orang² masih bergumul dengan selimut dan kasur empuk jam ½ 4 pagi begini hingga malas mematikan lampu, lagipula langit masih gelap. Pantaslah lampu² itu masih terlihat nyaman di pandang mata, meski ada sesuatu yang hilang dalam korneaku.
Sepuluh menit berada di sini aku kehilangan dua hal, kegelapan yang menenangkan beserta angin dingin yang menyenangkan. Meski ingin melupakan tapi tak dapat kulakukan, apakah langkah selanjutnya harus berlari menjadi pencundang pesakitan? Ah, rasanya angin dingin tak kan rela aku menjadi seperti itu, karna dia telah menemaniku. Pastinya dia akan sangat membenciku jika lari dari semua ini, aku akan diam sajalah untuk beberapa waktu. Menunggu angin dingin datang pada gelapku.
Comments
adem adem penake kemulan :D
ReplyDeletelagi dilema kah..??
ReplyDeletekangeeenn juga ma ridoo >:D<
@ eko: karo sopo ko? :-?
ReplyDeletenek dewean yo... :-??
@ Ratna: ngga kok na,
lagi dilem atinya.. hallah...