Apriel

Pernah dengar nama itu? Ya, sedikit cerita tentang sebuah nama yang masih menyiksa hingga kata demi kata ini ku tulis.


Apriel

Nama panggilan sayang yang telah ku ucap selama lebih dari 3 tahun. Bukan nama yang biasa ia dengar dari siapapun, karna hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Karna aku ingin dia terus menginggatku dengan nama itu. Yang belum pernah siapapun memanggilnya dengan nama itu.

Pertemuan kami teramat memalukan untuk di ingat, dan jangan kau tanyakan padanya bagaimana kami bertemu. Karna dia pasti tersipu malu, memerah semu diantara raut muka dan pipinya. Seperti itulah wajah ketika aku mengingatkannya pada pertemuan kami. Dan selalu terucap kalimat, "Dasar cowok kecakepan!"

Bukan, sebenarnya bukan karna aku merasa kecakepan hingga tak mau menjabat tangannya. Itu hanya karna habitual-ku dulu waktu di solo. Ya, aku sangat takut menjabat tangan seorang gadis. Hal yang masih kuanggap tabu, mungkin hingga sekarang. Maka dari itu, waktu aku diperkenalkan padanya, aku hanya tersipu malu dan hanya menjawab dengan meyebutkan nama. Lalu dia berlalu. Hingga suatu malam seorang teman datang ke wartel tempatku bekerja dulu, dia bilang ada seseorang yang mo bicara di telpon. Telpon yang digenggamnya. Dan ternyata apriel berada di seberang sana, sebuah perkenalan terulang dan berbasa-basi sebentar. Hingga aku meminta nomor rumahnya dan menelfonya beberapa minggu setelahnya, setiap hari, lebih dari lima kali.

"Kenapa kau tak mau menjabat tanganku, waktu itu?" ucapnya.
"Dan kenapa kau masih tak berani menatap mataku hingga sekarang?" kualihkan pembicaraan, "Ngomong aja sama pohon." tambahku sambil memperhatikan arah duduknya yang menghadap pohon. Suatu siang di kota Malang.

Weekend panjang yang kami gunakan berkunjung ke rumah eyang, sekaligus rumah yang pernah di tempatinya selama kuliah dulu. Dia sangat menyayangi eyangnya, juga sangat menyayangiku hingga tak mau pergi jika aku tak mengantarnya. Aku sangat menyukai sikap manja-nya, meski sebenarnya kami terpaut umur yang lumayan jauh.

"Siapa bilang aku ngga berani liatin matamu!" tapi ia masih memandang pohon² di taman depan.
"Coba kalo berani!" aku tak mau kalah.

Lalu dia memandangku dengan seksama. Ada cinta yang mengalir di sana, diantara dua kornea yang tergambar di balik kaca. Dan aku terus memperhatikannya, bola mata indah yang melukis jelas wajahku di sana. Tak lama ia menarik kacamatanya.

"Aa.. curang! Mana bisa seperti itu?" dia malah tertawa puas dengan kelicikannya. Terang saja dia bakalan menang, dia ngga mungkin bisa ngeliat mataku ranpa kaca mata!
"Yeee, khan ngga ada peraturannya!" dan senyum itu menambah cerah hariku. Bahagiaku.

Hingga suatu hari, aku menemukan kembali rasa yang telah lama mati. Sebuah nama hadir dan mengisi bagian lain dalam ruang hatiku. Ruang yang pernah di isi olahnya tiga tahun yang lalu, satu bulan setelah aku meletakkan apriel sebagai sandaran hidupku. Dia, gadis lain yang pernah singgah di hatiku untuk beberapa waktu. Dia, pernah mengisi ruang hatiku yang lainnya. Dia, alasan yang masih kucari untuk menjelaskan semua rasa ini. Ya, aku mulai mendua.

- ♥ -

"Jadi, sekarang ini aku seperti sephia-mu?" petang itu dia berucap padaku. Berada dalam dekap pelukku. Bertanya tentang posisinya diantara aku dan apriel, bertanya tentang sikap yang harus kupilih.

Dan aku masih terperangkap dalam diam, sejuta hening dalam balutan suara adzan. Lirih menggetarkan nuraniku, betapa dosa telah mencambukku pada sejuta kenangan yang telah kurekam bersama apriel. Aku teringat padanya, pada senyum yang selalu menyejukkanku. Pada dekap tangan yang selalu memeluk lengan di tiap jalan yang kami lalui. Dia, telah memberiku segalanya. Entah kenapa aku memilih jalan dengan dua hati yang menemani.

"Kenapa diam?" suara yang memaksaku menelusuri mata gadis dalam pelukku.
"Mendengarkan suara adzan" jawabku.

- ♥ -

Apriel masih menanti jawab ketika langkah kami gontai menelusuri lorong keluar gedung bioskop. Sore ini ramai sekali, dengan penatku memperhatikan puluhan manusia berjalan didepan. Aku ingin sepi, aku lebih menyukai sepi.

"Mas ingin makan dimana?" dia masih bertanya hal yang sama, meski dengan nada berbeda.
"Terserah adek." kuserahkan pilihan padanya. Aku sedang malas berfikir tentang makanan, setelah apa yang kurasa telah menyerap kadar berfikir dalam otakku.
"KFC lagi?"
"Yang penting bisa ngerokok." pintaku. Dan aku tahu, sebenarnya dia juga sudah paham tentang kebiasaanku. Setelah sekian lama dia mengenalku.

Dia tahu semua tentangku, kebiasaanku, tabiatku. Bahwa aku hanya membenci mie goreng dan sawi, bahwa aku mudah marah ketika lapar, bahwa aku butuh ruang untuk batang tembakau dan cangkir kopiku, bahwa aku tak bisa diganggu jika sedang bekerja, bahwa aku menyayanginya.

"Kita makan di luar aja ya? Disana khan bisa ngrokok." aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Dia tahu aku tak banyak meminta, dan aku tak perlu menjawabnya.
"Kau tahu, dek?" tanyaku pada dua mata yang sedang menatapku.
"Hemm... ." ucap dia pelan sebelum kurapatkan mulutku ke daun telinga kanannya.
"Bahwa aku menyayangimu... ." dia hanya tersenyum sambil mencubit lenganku.
"I love u too." jawabnya datar sambil terus memandang ke depan. Mencari jalan diantara keramaian. Diantara lalu lintas pergerakan manusia di Plaza Surabaya, yang membuat mataku rabun dan kepala bertambah pening. Aku butuh rokok, pikirku.

Tangan kiriku menulusuri sudut tas kecil yang tergantung di bawah ketiakku. Mencari bungkus rokok dan korek dari dalamnya. Urung ku ambil bungkus tembakau, karna motorola doraemon-ku bergetar.

        dah slsai krj? q tnggu dikost

Gadisku telah menunggu? Kenapa hari ini? Bukannya dia ngga ada kuliah? Ini hari sabtu! Kenapa dia belum pulang ke rumah? Kenapa masih di kost? Gila! Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku menjawab sms ini?

"Dari siapa mas?," suara pelan yg sedang memperhatikanku memegang doraemon terlalu lama.
"Boss nanyain aku bisa balik sekarang apa ngga. Dia mo ngajakin meeting." jawabku pelan.
"Kenapa ga di bales?" saran yang bagus, karna tak seperti biasanya ketika ia langsung meminta hapeku.
"Nanti aja." jawabku. "Sambil makan..."

Hatiku terasa ngilu, tak bisa kubayangkan gadisku yang lain menanti kedatanganku. Menahan lapar, hanya untuk bisa makan bersama. Sedangkan tubuhku di sini, sementara fikirku di sana. Ini menyakitkan, tak seperti celotehan teman² yang mengatakan selingkuh itu indah. Keindahan mana? Keindahan seperti apa? Apakah sakit ini yang mereka bicarakan? Apakah memilah hati ini suatu kebanggaan seperti kata mereka? Tidak!

Aku tak lagi merasakan kebahagiaan, pun ketika berada disamping salah satu gadisku. Hanya sakit yang kuperoleh ketika aku sadar, bahwa sebenarnya aku telah menyakiti keduanya. Sakit yang sama ketika aku harus berbohong, dan berkata seolah tak terjadi apa-apa. Aku begitu pintar berdusta, dan berpura-pura dengan sandiwara yang terus menyiksa. Bahwa aku lebih meminta keduanya, tapi sadarku mengingatkan tak mungkin seperti itu. Aku harus memilih, tapi tak bisa.

- ♥ -

"Aku bahagia, akhirnya kau bisa memilih." dia berucap lirih. "Dan keputusanmu memilihku membuatku percaya bahwa hubungan ini tak lagi menyakitimu" gadisku berucap datar sore itu. Di atas trotoar samping kampus, perjalan pulang ke kantor tempatku bekerja. "Aku tak pernah berhubungan lebih dari 6 bulan, kau tau itu?" dia menatapku.
"Aku malah lupa menghitungnya, berpa kali kau telah bercerita hal yang sama" dia mencubit lenganku. "Auw, kekerasan dalam pacaran!" teriakku kesakitan. Mengingatkanku pada apriel bagaimana cara dia juga mencubitku, entah bagaimana kulukiskan perasaan ini.

Sekarang, aku benar² membohongi keduanya. Pada apriel, juga gadis yang sedang mengandeng tanganku. Apriel tak pernah tahu, 8 bulan terakhir ini, aku memiliki gadis lain di hatiku. Sedangkan gadis ini membiarkan hubungan berjalan biasa saja pada awalnya, meski ia tahu ada nama apriel di ruang hatiku. Dia hanya meminta izinku untuk tetap mencinta. Tak menuntut diriku utuh menjadi miliknya, meski itu pada awalnya.

Hingga 6 bulan yang lalu dia lelah menanti di kost untuk sekedar mengajakku makan malam. Hingga ia pingsan di teras karna menungguku hingga pagi, dan tetap bersikeras tak mau makan hingga aku datang. Karna dia ingin membuktikan bahwa akulah cahaya hidupnya.

"Kau harus makan," ucapku sambil mengusap halus kening dan rambutnya. "Ku suapin, ya?" lalu kuambil satu sendok soto kesukaannya.
"Kenapa semalem ga datang?" dia menolak suapan dengan memalingkan wajahnya.
"Maafin aku sayang, Boss ngajak meeting mendadak. Ada penyusutan karyawan, aku dimintai pendapat siapa yang harus di keluarkan" jawabku sambil meletakkan sendok ke dalam mangkuk.
"Trus, kenapa ga bales sms Q," dia kini menatapku. Seolah mendapat jawab dari kornea yang masih menatapnya, "Kamu keluar sama apriel, khan?"
"Ya, aku bersamanya tadi malam! Untuk mengambil keputusan, bahwa aku lebih memilihmu. Dan 3 tahun bersamanya telah ku tinggalkan, masih perlu penjelasan?!" kuletakkan mangkuk diatas meja yang terletak di samping kiriku, lalu membalikkan badan dan bersandar pada tepi ranjang.

Tersisa hening yang mengisi ruang kamar pagi itu, kontras dengan nada jantung yang bersorak-sorai. Hebat! Kini kau masuk dalam dunia sandiwara! suara itu masih saja berteriak diantara gendang telingaku, memberiku selamat karna telah resmi membohongi gadisku.

"Kenapa diam? suaranya masih menemaniku. Menyadarkanku.
"Ah, ngga pa²." langkah kami makin mendekati tempat kerjaku. "Eh, katanya mo makan bareng temenmu?" sekedar mengingatkannya pada janji makan bersama pada acara ulang tahun temannya.
"Ntar ach, khan janjian abis maghrib. Ini aja masih jam 5. Aku antar sampai kantor ya?" masih bisakah aku menolaknya. Sedangkan lima meter lagi kami telah sampai.
"Aku juga ingin tanya caranya ngirim e-mail." tambahnya.

Aku tahu dia masih ingin bersamaku, sekedar menggangu pekerjaanku. Tapi jalanku telah menentukan pilihan. Bahwa sandiwara ini akhirnya berakhir. Ketika seorang gadis berkacamata telah menantiku di kantor, bahkan sebelum aku masuk, ia telah menghampiriku.

"Mas? Ini siapa?" Apriel telah menghadangku. "Coba kenalkan padaku," nafasnya tersengal, menahan sesak di dalam dadanya.
"Mbak siapa?" tanya gadisku seolah telah melupakan wajahnya.
"Saya pacarnya." jawab apriel cepat.
"Ok, sebentar." suaraku menengahi pembicaraan mereka. "Sebelumnya aku minta maaf," aku masih tersadar dan sadar bahwa ini nyata. "Priel, ini elly. Aku udah jadian sama dia selama 6 bulan. Dan eL, sorry. Sebenere aku belum putus sama apriel."
"Mas...? jadi ini yang kamu sebunyikan dariku?" ada embun di kedua bola matanya. Ada sakit yang tak tertahan dan ingin segera ia keluarkan. Ada berjuta kata yang tak terucap, tapi aku mengetahui maksudnya.

1 November 2007, semua sandiwaraku telah berakhir.

- ♥ -

"Bro! besok ganti-in gw jam 8 ya?" ucapku pada teman yang sedang memandangi compi seperti orang gila. Tak menyadari kedatanganku, tak menyadarai aku sedang memperhatikannya meneteskan air mata.
"Lo kenapa?" tanyaku padanya. Dia segera berpaling, meninggalkanku sendirian di ruang kerjanya. Dengan monitor yang masih menyala.



----- Original Message ----
From: Aprilliya Putri <apriel@*****.com>
To: rido <rido@*****.com>
Sent: Tuesday, January 15, 2008 2:47:39 PM
Subject: Re: he.. he..


Semua udah aku maafin................................

Tapi......
Insyallah aku April-Mei menikah

Doain aku ya.......................?
Ikhlas Hati




Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.



Aku menyelesaikan ini dalam 6 jam, duduk sambil membuka kenangan kita.

16 hari lagi ulang tahunmu.
Sebuah kado untukmu, priel.

Semoga bahagia.

Comments

  1. mbak ini Apriel yang dulu suka menulis di Pintunet bukan..?

    ReplyDelete
  2. @ mas arul;
    iya, mas..,, tak salamno...,, :P

    @someone;
    bukan, hanya sebuah nama dalam memoriku.... :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.