Kaki Lima

Satu dua orang datang dan pergi dari sebuah warung kopi yang berada di pojok areal ruko perkantoran. Wajah mereka terlihat sedikit cerah, baru jam tujuh pagi tapi para pekerja itu sudah memulai rutinitas menghangatkan diri.

Tapi tidak untuk sang pemilik warung kopi, pedangang kaki lima itu tak terlihat cerah sama sekali. Ada berita yang mengganggu otaknya sedari tadi malam dan membuatnya kelimpungan tak bisa nyenyak beristirahat, hingga tampang lesu itu tergambar di wajahnya.

Sudah dua belas tahun lebih ia merantau ke metropolis, mencari nafkah dengan mengusung grobak`nya menempati lahan kosong di depan ruko mentereng, ramai dengan para pekerja kantoran kelas menengah ke bawah. Ia bersyukur, tentang kemudahan yang tuhan berikan. Izin menempati lahan dari empunya ruko telah memberinya sedikit ruang untuk memperoleh penghasilan. Bagaimanapun, menggarap sawah orang di desa tak memberinya cukup uang untuk anak nya melanjutkan pendidikan.

Tapi setelah beberapa tahun berada di pojok depan lahan parkiran ruko itu, baru sekali ini ia mendapat kabar dari pihak pengelola ruko untuk segera menyingkir dari area parkir mereka. Ternyata, pemilik ruko yang baru itu, memiliki gagasan untuk membuat ruang hijau di beberapa titik sudut area parkir. Hal yang tak pernah terpikir dalam benaknya selama ini.

Tapi mau bagaimana lagi, nasib orang kecil sepertinya yang harus terus mengalah adalah harga mati yang tak bisa di tawar lagi. Alasan keindahan tata ruang lebih diutamakan dari pada sebuah mata pencaharian kehidupan. Dan ia menyadari akan hal itu, nasib kebanyakan pedagang kecil sepertinya hanyalah ilalang diantara ribuan keindahan rumput yang juga mencari penghidupan. Maka ia berniat untuk sementara mengalah demi kelangsungan kehidupan selanjutnya.

sin fallen

Pagi ini, kulihat anggota satpol pepe datang beramai dengan pentungan dan berbagai alat penghancur seadanya. Membersihkan sisa-sisa lapak pedagang di beberapa sudut areal parkir depan kantorku. Tapi yang menarik di sudut pandang ku adalah pria paruh baya yang berjongkok menopang dagu di depan sebuah ruko. Pandangan nya kosong menatap beberapa orang berseragam membawa meja dan menghancurkan bangku yang belum sempat ia bawa kemaren sore.

Aku tak bisa banyak berkata ketika ia menoleh dan tersenyum kepadaku, senyum kepedihan.

-end



Soerabaya, akhir february
tentang kisah cak munir
dan semoga menjadi semakin baik




photoname, image by photographerkelilink.deviantart.com

Comments

  1. sering banget nangis kalo ngeliat kejadian ini di depan mata sendiri. padahal mereka ngelakuin juga karena kehidupan mereka yang bisa dibilang ga layak. tapi mereka mau usaha asal ga ngemis. pokoknya prihatin :'(

    ReplyDelete
  2. begitulah negeri ini, yang kuat yang yang menag seperti hukum rimba

    ReplyDelete
  3. @ ata`; iya, aku juga banyak berfikir tentang solusi, tapi ya mau bagaimana lagi kalau kebanyakan pihak menganggap PKL sebagai beban, bukan sebagai potensi besar yg bisa dikebangkan....,, ;(

    @ Rizky; sebenarnya bisa dicari jalan untuk kita saling berkesinambungan, sebuah jalan sinergi untuk pemerintah dan pedagang agar saling menguntungkan.

    ReplyDelete
  4. hmmm,,emank sedih klu melihat org2 spt itu,,,
    sharusnya pemerintah juga lbih memperhatikan2 rakyat2nya,,
    ckckckkc,,

    ReplyDelete
  5. @ Rez; iya, yang terpenting memberi solusi, bukan hanya membubarkan saja...,

    ReplyDelete
  6. yaa nasib dadi wong cilik. sekalian gan minta izin kalo ada postingan yg aku copas. tenang aja sumbernya tetap di cantumkan

    ReplyDelete

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.