Hopeless

"Pertahankan orang yang kamu sayangi. Jangan menjadi pengecut yang melepaskan dia begitu saja... ." ada garis kecewa di wajahnya.

sin fallen

Warnet mulai sepi kalo udah jam empat sore begini, sedangkan teman² yang biasa menemani di Y!M juga sudah pamit dari satu jam yang lalu. Setidaknya itu memberi keuntungan bagiku, bisa mulai memeriksa laporan income di siftku selama delapan jam aku bekerja. Perfect, semua telah selesai kucatat dan tak ada kekurangan baik laporan dan jumlah uang yang ada di laci. Tapi penggantiku belum datang juga setelah sepuluh menit melewati angka empat pada jam dinding yang menempel di belakangku. Hah, temanku yang satu itu memang biasa telat. Ach, sepertinya pengen nulis kebiasaan temanku itu di salah satu blog rahasiaku.

Tapi niatan posting urung ku lakukan ketika muncul icon merah di multiply toolbar yang menempel di firefox, ada yang mengirim private message untukku. Ada firasat aneh ketika membuka inbox menemukan id asing yang memberi pesan dengan subject "hi, lama tak bertemu". Shocked, seketika aku membaca sesorang yang mengaku Ade Kurnia mengajakku bertemu sore ini. Aku masih tak percaya dengan omongan orang ini, hingga rasa penasaran menyuruhku menelusuri ID dengan headshot bunga aneh itu. Ade's site, title homepage dengan ID adekurnia itu. Aku masih tak percaya ketika menemukan wajah yang telah lama tak ku jumpa berada di salah satu postingan photonya. Wajah lelaki yang takkan kulupa meski telah tiga tahun tak bersua. Lelaki yang telah memberiku tuak cinta [sumpah, aku benci memakai kata ini] sekaligus membakarnya ketika telah berada di dalam hatiku.

Aku begitu menyayanginya pada tiap waktu yang kami habiskan bersama kala itu, membagi kenangan dan menyimpannya dalam memory hardisk otak kami. Awal mula bertemu di warnet tempatku bekerja, hingga janji² kecil usai aku bekerja. Pergi ke taman kota menghabiskan sore Semarang yang sejuk, atau perjalanan kecil kami ke Candi Gedong Songo. Semua begitu indah pada awalnya, seolah harapku pada tuhan terkabulkan. Akhirnya aku dapat memiliki seorang lelaki yang aku sayangi. Setelah sebelumnya pasrah ketika semua kisah kasihku selalu kandas entah kenapa. Tapi memilikinya, nyaman ketika bersamanya, serta rasa yang terus tumbuh tiap harinya. Menyadarkanku betapa hidupku begitu bahagia, meski kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Ketika akhirnya dia mengucap pamit kembali ke daerah asalnya di Kalimantan setelah selesai menempuh study di sini. Ketika dia sendiri yang meminta hubungan kami berakhir karna tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Bukan karna dia tak percaya padaku, tapi karna dia tak ingin aku berharap pada seseorang yang tak mampu di beri kepercayaan. Ucapnya kala itu. Aku sendiri bingung dengan ucapannya kala itu, tapi kesedihanku tak memberiku waktu untuk berfikir. Otakku sendiri masih sibuk me-refresh memory ketika ia mengucap selamat tinggal. Aku masih sibuk membuka kenangan kami ketika ia pergi, bahkan aku tak menyadari ia telah meninggalkanku duduk termenung di taman kota.

Kemudian aku kembali membuka mata, ketika aku tersadar langit telah berwarna jingga. Aku telah berada di tempat yang sama ketika tiga tahun yang lalu ia meninggalkanku. Sendiri, termenung sibuk membuka kenangan lalu. Hingga tak sadar air mataku menetes.

"Kamu masih seperti yang dulu ya, gampang nangis..." ucap seorang lelaki yang telah duduk di sebelahku, mengusap air mata dengan tangan kasar yang telah lama tak menyentuhku.

sin fallen

"Hahaha,,, maaf.. aku emang sengaja bikin fake ID karna aku pengen jadi orang yang berbeda.." tawanya menggema keseluruh ruangan. Sekiranya dia puas bisa tertawa di kontrakan kecil miliknya, memecahkan keheningan di dalam rumah yang sepi ini.
"Jadi, ID twocoffeecup itu benar² milikmu??" ucapku tak percaya ketika ade memberitahuku bahwa twocoffeecup, ID yang biasa menenamiku online di multiply, adalah dirinya. Padahal ID itu telah setahun menemaniku bercanda di multiply, dan ternyata...
"Makanya aku ngga pernah posting foto meski kamu memintanya seribu kali, hahahaa..." tawanya hilang ketika menemukan wajahku murung.
"Ow, common..." dia menggenggam tanganku. "Iya, aku minta maaf karna udah bohong waktu itu, tapi postinganku memang ku tujukan untukmu. Semua cerpen dan character gadis yang ada di sana adalah cerminan darimu.." sepasang mata sipit berkacamata itu menatapku dalam, seolah ingin memberitahuku bahwa selama satu tahun ini ia bernostalgia bersamaku di site itu. Tentang cerita² konyol yang dia tulis di sana adalah cerita kami, meski ia sering membantah bahwa character gadis di dalamnya bukanlah diriku.
"Aku tahu itu, tapi tak pernah yakin..." padanganku menerobos keluar jendela. Menatap rintik hujan di luar sana, mengingatkanku pada sepenggal scene manis ketika lelaki di sampingku ini mengambil ciuman pertamaku. Ciuman yang begitu teguh tak pernah kuberikan kepada kekasihku sebelum²nya. Kenapa dia?

Ah, wajah itu begitu teduh. Meski kadang teramat lucu ketika tak memakai kaca mata, muka cekung dengan bola mata sipit yang aneh. Tapi kadang ia juga teramat menawan ketika berbicara tentang cerpen, tentang berbagai cerita dan puisi dan segala makna yang panjang dijelaskannya padaku. Tapi lelaki ini tak pernah romantis seperti puisi yang selalu diberikannya padaku lewat lembaran blog.. atau empat baris kalimat yang tertinggal di off line message Y!M. Wataknya cenderung cuek, membiarkanku menunggu ketika ia asyik dengan tulisannya, mengacuhkanku dan berpetualang sendiri ketika berada di Candi Gedong Songo. Hanya sekali saja aku merasakan kelembuatannya, ketika ciuman pertama itu...

"Mmhh..." dia mendorong tubuhku, keluar dari balutan nikmat ciuman kami. Lagi, untuk kedua kalinya di tempat yang sama dengan scene serupa. Ciuman itu terulang lagi.
"Maaf..." entah siapa yang memulai, tapi kenapa ia mengucap kata itu. "Aku merasa kata itu cukup mengobati rasa bersalahku. Karna aku merasa ini tak benar, di hari kedua kita bertemu untuk sekian lama terpisah. Kita belum terikat lagi, setidaknya itu menjadi alasanku meminta maaf.."
"Aku menyayangimu, setidaknya kamu tak perlu mengucap kata itu." aku ingin mengucap betapa aku ingin memilikinya. Merangkai lagi cerita kami, cerita indah seperti tiga tahun lalu.
"Aku merasa ini tak layak. Meski aku masih menyangimu, tapi aku merasa ini terlalu cepat untuk kita memulai lagi..." ucapnya pelan. Lelaki ini begitu tega menghancurkan hatiku, betapa ia tak mengizinkanku menikmati kebahagiaan ini sebentar saja.
"Terlalu cepat? Mungkin tiga tahun memendam rindu adalah waktu yang terlalu cepat untukmu, tapi tidak untukku. Aku tak meminta banyak, hanya kejelasan hubungan kita..." ucapku mantap, aku tak ingin memendam rasa ini lebih lama lagi.
"Bukankah lebih baik hubungan kita seperti ini, teman yang mengerti satu sama lain..."
"Teman tak berciuman seperti tadi, aku tak ingin kau menganggapku teman mesra yang bisa kau cumbu semaumu..." aku mulai muak, di pikirnya aku bisa menjadi teman tapi mesra untuknya. Batinku kalut, aku ingin segera keluar dari sini. Tapi di lubuk hatiku sebenarnya aku masih ingin bersamanya. "Aku menunggu kepastian..." ucapku sebelum membungkam mulutku. Seharusnya dia mengerti apa yang ku ucapkan barusan, setidaknya dia menghargai ketertarikanku hingga menghinakan diri seperti ini.
"Entahlah, aku sendiri masih belum bisa membangun sebuah komitmen diantara kita..."

sin fallen

"Pertahankan orang yang kamu sayangi. Jangan menjadi pengecut yang melepaskan dia begitu saja... ." ada garis kecewa di wajahnya.

Wajah ayu di sebelahku masih termenung di antara keramaian taman kota. Betapa aku ingin memeluknya dan meminta maaf atas semua keputasanku. Memang salahku yang tak mampu mempertahankan gadis yang teramat kusayangi, gadis yang telah berada di ruang hatiku selama lebih dari 4 tahun aku mengenalnya. Meski tiga tahun yang lalu aku telah meninggalkannya, tapi wajah ayu itu terus saja mengusik hari²ku. Kehidupanku di kampung halaman tak pernah tenang, betapa gejolak rasa memaksaku kembali ke Semarang. Untuk menemuinya.

Tapi setelah aku berhasil menemuinya hatiku semakin lemah, aku tak mampu membuat keputusan akhir untuk bersamanya. Seketika aku menjadi lelaki pengecut yang tak berani mengambil sebuah komitmen untuk bersamanya. Bukannya aku tak ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengannya, tapi aku tak ingin terlalu banyak memberinya harapan sementara aku sendiri tak memiliki harapan untuk hidup.

Fonis dokter tiga tahun yang lalu telah membunuhku saat itu juga, virus yang bersarang di tubuhku membuatku melangkah jauh dari gadis yang paling kucintai. Aku tak ingin dia tertular virus ini, meski aku slalu ingin bersamanya, tapi aku sadar batas ruang gerakku. Aku begitu menyayanginya, tapi aku sadar seorang penderita HIV positif sepertiku tak berhak memilikinya.

"Maafkan aku...," jingga senja telah berubah menjadi abu².

-end




Soerabaya, awal January 2008
Kado tahun baru untuk seorang teman,,,




Hope for the Hopeless, image by burtknee.deviantart.com

Comments

  1. cerito dowo tapi mekso,,
    mbuhlah, ngantuk iks.... (:|

    ReplyDelete
  2. Ini nyata?? Huhu... HIV merenggut semuanya...

    ReplyDelete
  3. @ Ekohm: mesti lak senengane ngaget²i... :P

    @ mas Adit: ga kok mas, cuman cerpen..
    sebenere aku rada ngga sreg sama endingnya, karna terlalu maksain n nyinggung penderita AIDS seolah mereka ga punya harapan lagi, hiks...

    ReplyDelete
  4. klo sudah AIDS memang susah, klo masih HIV positif masih bisa diusahakan...

    ReplyDelete
  5. tak kirain tenanan..cerpen tha...bagus!

    ReplyDelete
  6. wah buat aku? terimakasih ya
    cerita yang menarik

    ReplyDelete
  7. @ ala: Ow, emang beda ya?
    malah baru tahu nich.. thanks... ;)

    @ afie: io, ni cuman cerpen kok..
    thanks da mo baca... :D

    @ Ratna: weks, ya emang..
    khan aku ga tau endingnya cerita temenku itu, makanya q buat sendiri endingya,, terlalu maksa nich... :P

    @ kw: ia, buat temen² smua...
    thanks iaaa.... >:D<

    ReplyDelete

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.