Seringnya, aku berfikir bahwa tujuan hidup tak pernah surut akan perbedaan. Tentang pemikiran, sikap, watak, pembawaan dan hal sekecil apapun yang pernah ada dalam ruang linkup kehidupan bersosialisasi. Pemikiran tak sejalan yang kuamati dari keluhan cerita beberapa teman adalah tentang orang tua. Tragis, di saat perbedaan itu berbenturan dengan ego orang tua yang tinggal satu atap dengan mereka.
Putra misalnya, teman kampung yang masih bercerita tentang topik sama setiap kali aku pulang ke solo. Perbedaan pola pikir ketika ia mengutarakan niat meminjam modal untuk usaha ternyata harus terbentur dengan keinginan sang adik mempunyai sepeda motor. Perdebatan panjang yang berakhir buruk dengan hubungan yg semakin tidak harmonis. Beruntung putra adalah pemuda yg gigih. Bermodal TV 15 inch [yeah, 15 inch!] dan sebuah nintendo usang, ia sekarang sudah memeliki rental playstation dalam sebuah toko klontong, dan tv kecil itu telah berubah menjadi 5 Box ukuran 21 inch. Tapi pada akhirnya dia berfikir tak membutuhkan orang tuanya lagi, percuma kah?
Sapi [teman nongkrong di sini] memiliki persoalan berbeda dengan rasa bangga yang masih belum ia terima dari kedua orang tuanya, terlebih oleh sang ayah. Perlu diketahui pekerja keras ini telah mendapat posisi menjanjikan di sebuah perusahaan konstruksi terkenal di Indonesia. Dan menurut orang tuanya itu masib belum cukup kalau dia belum menyandang gelar sarjana. Mungkin, kebanyakan orang tua memang menjadikan pendidikan sebagai orientasi utama mereka. Pekerjaan akan lebih menjanjikan jika seseorang telah meraih gelar yang tinggi.
Pun bagi harie, kakak tingkatku ini sedang mengejar gelar megister di kampus yang sama. Pendidikan itu mesti ia lakoni dengan terpaksa karena orang tua sudah menetapkan hidupny seperti itu. Meski dia juga kepengen ngambil kulih S2, tapi jurusan yang diambilnya tetap ditentukan sama orang tua. Sementara dia sebenarnya sudah pengen kerja dan hidup mandiri. Dan curhat dia kemaren akhirnya merembet ke cewe dan sebagainya.. ngyahahaa...
Dan kalau ditarik kesimpulan dari cerita ketiganya, sebenere mereka hanya perlu komunikasi yang baik sama orang tua. Putra aku lihat dari kecil memang jarang ngobrol sama orang tua, terlebih sang ayah, karena adat toto kromo wong jowo memang masih kental di keluarganya. Sapi juga begitu, meski sebenarnya aku baru kenal beberapa bulan, tapi kayaknya emang dia masih belum mau 'membalas' omongan. Dan harie, meski komunikasi sudah agak lancar, tapi dia selalu diam karna tidak sempat menjawab omongan orang tuanya.
Thanks god, orang tuaku adalah cermin demokrasi yang ada. Semua bisa di bicarakan karena kedekatan emosional sudah terjalin dari kecil. Canda tawa juga ejekan ga berguna sering terlontar dari mulut anak²nya. Tapi bukan terus kami tidak menghormati mereka, karena pada akhirnya smua mau dan mampu dikritik oleh anggota keluarga. Kopi dan rokok menjadi mediasi yang ampuh kalau aku ingin berdebat sama bapak. Sering ngobrol dan bercanda sama beliau, atau membantu ibuk dengan curhat beliau tentang hubungannya sama bapak. uhuii.. switswiw...
Terlepas dari itu, kalaupun banyak yang beranggapan orang tua susah diajak ngobrol itu sebenere ga sepenuhnya benar. Hanya saja tidak mau mencoba. Bagaimana caranya, sebagai anak harusnya lebih dekat dan telah mengenal watak mereka dan tau solusinya. So, kenapa ga di coba ngobrol dan terus jalin komunikasi yang baik sama orang tua. Dan perlu di inget, ngobrol sama mereka tu sebenere asyik loh. Jadi ga perlu nunggu pas kita punya mau baru ngedeketin mereka.
Gih, berbincang sebentar sama ortu...
dysfunctional family cartoon, image by viewfrommywindow
ada apakah..?
ReplyDelete*ah lom sempet baca... ngantuk.. mo bobo sek.. :D
ada kecoa nempel di dinding,
ReplyDeleteeh,, cicak sech... :P
met bobok eko,