hujan

Langit kelam, bergumul gumpalan awan hitam. Dari ujung hingga ujung yang lain dengan warna sama, perpaduan kelabu dan hitam menjadi satu. Tak ada senja, tak ada warna orange seperti biasa ketika matahari mulai menghilang. Langit tengah bersedih...

Sedih dengan tangis sedari tadi pagi terus mengaliri bumi, seperti itu hingga sore ini. Ketika aku melihat langit muram dengan hujan yang benar² kelam, merasakan bagaimana air menghajar kulit di kaki dan payung yang bersuara kemlotak dari atas kepalaku. Langit benar² sedih, atau marah?

Sedangkan aku tak lagi perduli, tak lagi sempat berfikir bagaimana perasaan langit. Karna aku harus menemui Ryan, bertanya padanya tentang perasaannya kepadaku. Aku tak ingin di gantung, menjadi zombie seumur hidupku. Setidaknya aku harus tau apakah ia masih menyimpan sedikit rasa itu. Rasa yang kurasa meski dia belum mengucapkannya, hingga harus berakhir buruk meski aku baru mengenalnya.

Tiga minggu yang lalu ketika hujan tengah mengunci gerakku, seorang lelaki gagah datang menghampiri ketika aku menunggu hujan reda di emperan cafe tempatku bekerja. Dia baik, mengantarku pulang dengan meminta izinku sebelumnya. Meyakinkanku bahwa niatnya tulus, dan ternyata memang benar seperti itu. Dengan banyak obrolan di dalam Panther hitam yang dikendarainya. Begitu juga setelahnya, entah kenapa dia sering mengajakku pulang setelah menungguku dengan secangkir kopi di emperan cafe.

Dia baik, setidaknya cukup untuk membuatku menaruh simpati padanya. Dan yang masih tak ku mengerti, entah kenapa aku menyukai cara dia memanggil namaku, "Kirana" dengan tone anak surabaya yang sedikit keras. Tapi lucu. Bahkan raut muka sangar itu bisa dibuatnya seperti gurita hingga membuatku terpingkal, meski kadang tak begitu lucu, cara dia bercanda telah cukup menghiburku. Ah, ya.. dia suka bercanda dan bukan tipikal pemarah.

Setidaknya sampai hari ini, siang tadi ketika aku berkata jujur tentang permainanku. Lakon yang sedang ku pentaskan di dalam sebuah drama yang akhirnya membuatnya marah, atau sedih. Dengan raut kelam seperti hujan yang kini mengguyur Surabaya.

=====

Hujan belum juga reda, pagi yang buruk seolah memberi firasat yang buruk untuk mengawali hari. Terlebih firasat ini datang kedua kalinya setelah kemarin kudapati malamku tak lagi gerah seperti biasa, dingin di Surabaya yang jarang kutemui. Ada apa dengan jalanku hari ini?

Aku benci mendapat firasat, terlebih firasatku selama ini selalu benar. Tentang apa yang kurasa setelah lama mengamati keadaan yang tak sewajarnya. Tentang hujan hari ini, aku mendapat firasat buruk ketika nanti siang harus menemui Kirana. Sebenarnya, hanya sekedar menemaninya makan siang. Tapi yang lebih penting adalah rencanaku mengutarakan perasaanku setelah 3 minggu mengenalnya. Aku tak ingin ada kesalahan, sekecil apapun karna semua telah matang kurencanakan.

Tapi firasat lain mengganguku, setelah beberapa hari yang lalu sempat kudapati seorang wajah di kontrakan yang di tempati Kirana. Wajah lama yang sangat ku kenal, mantan kekasih yang telah 3 tahun berlalu dari ingatanku tengah duduk di ruang tamu. Untunglah dia tak sempat melihatku, dan Kirana juga belum sempat menemuiku. Hingga akhirnya aku berlalu.

Malam itu, sebenarnya aku hanya ingin datang ke kostan Kirana sekali saja. Entah kenapa aku ingin menemuinya meski seharian dia telah menemaniku ke Malang untuk urusan bisnis [baca di sini untuk fersi originalnya]. Tapi firasatku yang menyuruhku ke sana, misteri yang masih belum terpecahkan hingga hari ini. Hari disaat aku ingin mengurakan perasaanku pada Kirana.

====

Hari ini Surabaya hujan deras dengan tabuhan guntur. Gemuruh yang tak henti hingga siang hari, pun tak menyurutkan langkah Ryan datang menjemput Kirana di cafe tempatnya bekerja. Hingga kini mereka telah bercengkrama di resto langganan mereka.

"Ya benar itu, ahaha.." tawa Kirana sambil menutu mulut manisnya.
"Maaf, aku benar² ngga nyadar resletingnya kebuka." membuka lagi halaman lama ketika mereka janjian keluar pertama kali. "Tapi dah kerasa sebenernya.." kening Kirana bertaut, seolah menunggu kalimat yang masih menggantung. "Rada isish..." senyum Rian menutup kalimatnya.
"Dasar mesum, ahaha... " tawa Kirana lagi.

Hingga keduanya sempat terdiam lama, entah apa yang sedang di pikirkan Rian. Pun Kirana yang seolah ingin mengatakan sesuatu. Rian sebenarnya telah merencanakan ini jauh hari sebelumnya, resto milik temannya juga band yang telah berada di belakang adalah juga teman²nya. Akan ada lagu 'sempurna' kesukaan Kirana yang akan di nyanyikan setelah Ryan mengungkapkan rasa, yg akan di nyanyikan ketika Ryan menyulut rokok. Seorang perfeksionis sepertinya telah berfikir detail hingga tak terasa semua tamu telah keluar, dan temannya telah menutup resto untuk mereka berdua. Kini tiba gilirian untuk berkata.

"Ryan, aku pengen ngomong..." malah Kirana yang mengawali kata.
"Yaa... ?" Tangan Ryan mengambil batangan rokok selesai menyantap hidangan di meja.
"Aku tahu kamu ngga suka kalo aku nyembunyiin sesuatu, makanya aku nyoba jujur." Kirana terdiam, sedangkan jantung Ryan bertingkah. Dengan denyut nadi berloncatan tak karuan. Secara reflek tangannya menyalakan api dan membakar ujung rokok yang terselip di bibirnya.
"Kamu kenal Ines?" Ryan terbatuk mendengar nama itu. Seketika lagu 'sempurna' bersenandung di belakang sana.

Ines, adalah wanita yang pernah ditinggalkan Ryan 3 tahun yang lalu. Juga yang sempat di temukannya berada di kontrakan Kirana beberapa hari sebelumnya, membuat Ryan berfikir apakah firasatnya selama ini benar? Bahwa ada rencana di balik ini semua, ada sandiwara yang sedang dilakoni sama kirana. Apakah benar jika..

"Setelah ia tahu kamu sering ke cafe tiap sore, Ines memberiku pekerjaan di cafe itu. Sebelumnya aku cuman magang di sana, dia bahkan menyediakan tempat tinggal ketika kuterima tawarannya untuk mendekatimu. Kamu tentu belum tahu kalau cafe itu, juga kontrakan yang aku tempati adalah milik pamannya. Ines meyakinkanku kalau kamu ini bajingan dan harus menerima balasan atas yang apa yang telah kamu lakukan padanya."

Ryan bingung, kecewa, juga sedih, sekaligus masih belum percaya atas apa yang telah didengarnya. Jadi firasatnya kali ini juga benar, tentang kebimbangan yang dia rasakan ternyata harus berakhir seperti ini. Kemana pergi rasa yang ia peroleh tiga minggu yang lalu itu..

"Tapi tiga minggu mengenalmu telah cukup meyakinkanku bahwa Ryan yang ini tak seperti yang Ines bilang. Aku tak percaya lagi dan ingin keluar dari bujukan Ines, aku bahkan telah mengajukan surat pengunduran diri pagi tadi. Juga telah membereskan barang²ku dari rumah itu, aku hanya ingin keluar dari kebohongan. Dan ingin lepas dari belenggu yang telah... ."
"Ya, sudahlah." Ryan terlanjur memotong penjelasan Kirana. "Terima kasih untuk penjelasannya. Sepertinya aku hanya butuh waktu untuk sendiri..." Ucap Ryan sebelum menghisap Rokok yang telah habis setengah menjadi abu.

"Mau ku antar? Sepertinya hujan tak akan reda sampai nanti malam... ."

-end

Soerabaya, Akhir November 2008
Terima kasihku untuk hujan...




Hard Rain, image by gilad.deviantart.com

Diangkat dari kisah nyata, maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh di dalamnya. Ya, karna emang di sengaja sech.
Ngyahaha...

Comments

  1. ehem..
    aku selal usuka hujan
    tapi aku terlalu takut akan petir :D

    ReplyDelete
  2. ohh,,, jadi eko takut petir? hmm,,,

    kenapakah?? :-?

    ReplyDelete
  3. Ah cerita yang bagus!!
    mengilustrasikan pengalaman yang sederhana manjadi sebuah cerita yang menarik..
    ditambah lagi aku suka banget cerita yang ada latar belakang Hujan-nya.. *merindukan bau hujan* xD
    ohya salam kenal ya!
    terus nulis juga donk :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.