Perjalanan ini

"Ah, biarlah aku menggila duniaku sendiri untuk beberapa waktu. Baiklah, akan kutinggalkan coretan untuk mereka meski selembar saja." gumamku dalam hati.

---

Untuk terakhir kalinya kuperiksa ransel biru kumal diatas ranjang. Beberapa baju dan celana baru terbungkus kertas koran meski tak sebitu rapi, diatasnya beberapa kaleng permen untuk kepoanakanku. Mereka pasti menyukainya. Meski umi dan abi melarangku membeli oleh-oleh, toh aku akan tetap membelinya. Bukankah uangku telah cukup untuk menghidupi diriku sendiri, sisanya untuk keceriaan mereka yang kusayangi. Malaikat-malaikat kecil yang membuat rumah seperti seperti surga ketika aku tiba memeluk mereka. Atau terkadang, berubah menjadi medan perang ketika meraka menjadikanku tahanan yang harus dibungkam dan dianiaya. Keterlaluan! Tapi tak apalah, karna permainan bodoh kecil itu jugalah aku semakin rindu untuk pulang.

"Sudah cukup? Cuman segitu aja?" suara lembut dari belakang menghapus wajah malaikat² kecilku.
"Iya, males bawa banyak²." kutarik dua resleting dan menyatukannya di tengah.
"Janji ya, pulang cuman seminggu." tangan kecilnya memeluk perutku dari belakang, sedangkan bibir lembut itu menusap leher belakang beberapa kali.
"Heh, lagi puasa! Ga boleh ach!"
"Khan cuman kamu yg puasa." Wanitaku ini sungguh menyebalkan. Mentang² dia lagi ada halangan, semaunya saja menggodaku untuk melepas puasaku hari ini.
"Ada titipan dari ibuk." tangannya mengeluarkan bungkusan dari dalam tas coklatnya.
"Ah, calon mertua. Sungguh perhatiannya" gumamku.
"Yang ini taro di bagian depan aja." ucapnya sambil membuka bagian depan ransel. "Hah! ngapain bawa rokok segala?!" sentaknya ketika menemukan kotak wadah rokok dari kayu, oleh² untuk ayah.
"Cuman wadahnya aja. Kemaren kepikiran bapak waktu liat itu, khan bisa buat wadah tingwe-nya yg kececeran itu." masih dipaksanya menjejalkan smua yg ada ditangannya. Ranselku terlihat aneh dan.. besar. Aku benci bawa barang segitu banyak.
"Udahlah han, taro jadi satu aja di dalem. Ngga muat itu."
"Dasar gendut! Cerewet amat sih!" tangannya telah selesai menutup resleting. Memberikan senyum kecutnya padaku, lalu mencubit hidungku.
"Yuk, berangkat." lalu mencium pipiku.

---

Siang mulai terik, menuangkan pasir kedalam tenggorokan dengan panas di dalam oven yg berbentuk kereta kelas ekonomi. Besi tua yg kini tengah berhenti di Madiun, biasanya akan teramat lama kalau berhenti di sini. Sebagai catatan saja, aku telah akrab dengan jadwal Logawa yg berangkat dari surabaya. Karna tiap pulang ke rumah aku selalu naik kereta ini. Bertahan dengan puluhan manusia berbagai macam rupa dan bau di dalamnya, kelihatannya tak akan menyenankan seperti biasanya. Deodorant tadi pagi juga telah menyatu dengan bau keringatku, orang gemuk sepertiku tak tahan dengan panas dan mudah sekali berkeringat. Lebih baik aku keluar daripada di panggang di dalam oven seperti ini, paling tidak untuk 15 menit lagi.

"Hah, akhirnya... keluar juga dari neraka." gumamku setelah keluar dari pintu kereta. Mencopot ransel dan menjinjingnya.

Berjalan menuju tempat duduk disamping kereta, sejuk rasanya tersapu angin diantara ketiak yg mulai basah oleh keringat. Haha...
Nikmatnya mudik memang harus dinikmati seperti ini, berjejalan dengan berbagai macam manusia dengan wajah yg tak pernah sama. Aku telah terbiasa dan mulai menikmatinya, bahkan untuk berdiri selama setengah perjalanan yg telah kulalui. Solo masih jauh, setidaknya 3 jam lagi. Kuputuskan untuk mengeluarkan mp3 player dan mulai menikmati duniaku, playlist yg sudah kupersiapkan tadi malam rasanya belum kuputar seluruhnya. Hanya sempat menikmatinya dalam perjalanan ke stasiun tadi pagi,
"Ach.. pas..." gumamku ketika hentakan drum Yoyo mengawali intronya.
"Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela.." bibirku tengah bersenandung 'perjalanan ini' dengan senang hati. Bahkan tak menghiraukan tatapan aneh dari mereka yg duduk tak jauh di sampingku. Meski sebenarnya aku sadar suaraku sangat jelek, Peduli setan!. Aku hanya ingin sejenak menikmati perjalanan ini, menuju muara dari tempatku berasal. Menemui mereka yang telah sebegitu dekat denganku, meski hanya beberapa. Beberapa yang sanggup mengikat hantiku untuk segera kembali pulang.
"Ku akan kembali pulaang.."

---

Angin berhembus kencang menerobos pintu kereta yg tengah melaju kencang, menghembus wajahku yang tengah berdiri di depan pintu. Karna kebodohanku keluar dari kereta tadi, sekarang tak ada lagi celah untuk masuk ke dalam gerbong dan tersisa ruang di sambungan kereta bersama para pedagang asongan. Beberapa ada yg menghitung laba, duduk termenung, setelah sebelumnya sempat menawariku barang jajanan mereka. Gila aja.

Korneaku berlalu, memilih pemandangan diluar pintu. Karna tak mungkin terus menatap minuman segar itu, aku memilih untuk melihat sawah hijau diluar sana. Indah sekali, meski beberapa kali pabrik² itu menghapus keindahannya. Aku hanya ingin menatap hijau mereka, hingga tak merasa ada sesorang yg mendorong tubuhku. Dan entah kenapa tanganku tak mampu meraih daun pintu, mungkin karna kejadiannya teralalu cepat.

Aku tak lagi mampu melihat, hanya rasa rindu yang terus mengikat, berjuta luapan rasa. Tentang teman, saudara, orang tua, keluarga. Malaikat² kecilku yang berlari memelukku ketika sampai di pekarangan depan rumah. Juga teman bermain yang telah satu tahun tak lagi kutemui wajahnya, perlahan tergambar jelas. Mereka tersenyum kepadaku, mengajakku bermain bola seperti setiap sore sebelumnya. Kemudian kakak²ku telah melepas peluk hangat mereka, sedangkan ayah telah menggenggam kotak rokok yg kubeli, dan ibu... ibu seperti biasanya mencium kening lalu memelukku. Bahagia rasanya.

Entah kenapa aku merasa sangat bahagia, terlebih ketika seutas senyum terakhir menyapa. Wanitaku, yang kemudian mencium bibirku. "Ah, sepertinya ini perjalanan terakhirku."

---

Malam terakhir sebelum meninggalkan surabaya, aku tak sebegitu yakin bisa menyentuh keyboard dan memegang 'tikus' lagi setelah pagi dini hari ini. Tak akan sanggup olehku menyapa teman² di dunia entah berantah yg terhubung oleh jaringan internet. Setidaknya untuk satu minggu kedepan aku akan meninggalkan mereka, dikarenakan kampung halamanku belum terjamah jaringan internet. Dan pastinya, aku akan merindukan canda mereka yang sanggup membuatku tertawa sendirian di depan komputer, seperti orang gila.
"Ah, biarlah aku menggila duniaku sendiri untuk beberapa waktu. Baiklah, akan kutinggalkan coretan untuk mereka meski selembar saja." gumamku dalam hati.



Taqobbalallohu Minna wa Minkum
Shiyaamana wa Shiyaamakum
Minal Aidin Wal Fa Idzin


Selamat Idul Fitri 1429H

Comments