dua jalan

Pernah aku bertanya padanya apakah smua yang dia jalani akan segera terhenti, tentang semangatnya melakoni kebodohan yang akan segera menenggelamkannya pada kematian. Atau, juga penderitaan yang selalu ia katakan sebagai kenikmatan. Tapi ia memang selalu seperti itu, menjadi bodoh dan lugu seperti pertama kali aku mengenalnya.

Tapi sekarang, aku tidak ingin membicarakan kebodohan atau kenikmatan. Tidak juga tentang pilihan konyol yang tengah ia jalani karna aku tahu ini takkan mudah untuknya. Dengan menjalani rutinitas sepadat itu, kuliah di pagi hari, bekerja pada sore hari dan masih harus terjaga untuk tempat kerja lain pada malam harinya, pun sebagai manusia aku juga bisa merasakan bagaimana ia akan terbunuh oleh waktu. Waktu yang terus bertambah seperti garis² yang berada di sudut matanya. Ia bukan robot yang dapat mengisi ulang energi dengan mengganti batre di punggungnya, bahkan kerbau pun perlu istirahat setelah seharian bekerja membajak sawah. Ah, mungkin ia memang perpaduan keduanya. Kerbau dungu yang dapat di isi ulang tenaga sementara ia teteplah dungu dengan tali yang menembus hidung dan memaksanya tetap bekerja. Mau seperti apa dia kelak ketika ia tak lagi memegang ideologinya.

Seperti rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengah, di jentikkannya untuk membuang abu seperti ia ingin membuang lelah. Tapi hari masih terlalu pagi, matahari tak mengizinkannya beristirahat meski hanya sejenak. Dan kopi di meja juga masih belum habis untuk kami nikmati di warung kopi kumuh diantara bising surabaya.

"Sepertinya pagi ini akan mengawali hari yang cerah?" ada sisa asap dari mulutnya, sisa dari dji sam soe kreteknya yang baru saja terbakar.
"Mungkin, tapi muka dan tubuhmu tak akan lebih cerah dari apa yang kau miliki pagi ini.." aku menangkap sinyal dari raut muka yang aneh. "Setidaknya, nikamtilah selagi kau bisa merasakannya."
"Yang mana? Cerahnya pagi atau tubuhku?" dia masih mengucap tanya seperti mahasiswa bodoh biasanya.
"Keduanya,,," ucapku pelan lalu menyruput kopi dari tatakan gelas berbentuk linkaran.
"Maksudmu..?"
"Ah, tidak.. Lupakan omonganku.." lalu aku bertanya topik lainnya. Menghindar dari kejaran pertanyaan yang mungkin akan mendesakku berceloteh banyak tentang nasehat yang tak perlu. Setidaknya aku tahu ia telah dewasa menyikapi semuanya.

sin fallen

Pagi itu, sepertinya terakhir kali kuhabiskan kopi bersamanya. Pekerjaan dan segala aktifitas yang telah memakan banyak waktu kami. Setidaknya aku tahu bagaimana memposisikan diriku, bahwa aku hanyalah orang lain yang tak kan mampu membangun sebuah jalan untuknya. Setidaknya ia telah menyadarkanku untuk membangun jalanku sendiri. Meski kami harus melalui dua jalan yang berbeda.

-end



Soerabaya, akhir maret 2009.
dua jalan ini harus kubangun sendiri... .

Comments

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.