The Grey

in greyAku meninggalkan jejak berwarna abu-abu. Tidak lagi putih seperti dulu, juga bukan hitam pekat seperti aspal jalan yang terkadang meleleh terbakar sinar matahari. Ia berada di tengah-tengahnya, di antara hitam dan putih nya dunia. Tentu tidak bisa menyalahkan apa yang telah terjadi, menjadi setengah-setengah itu juga bukan sebuah pilihan. Aku juga tidak bisa menyalahkan keadaan, sebuah momentum dari bingkai peristiwa itu memang kadang terjadi begitu saja.

Seperti sebuah sore di ambang cakrawala senja, ketika tiga hari yang lalu aku berada di sebuah tempat peribadatan yang ramai dengan hilir mudik manusia yang ingin menghadap kepada tuhan nya. Seorang lelaki paruh baya tengah duduk memeluk lututnya, tepat di samping sepeda motor ku yang sedang terparkir. Ia bersuara kepadaku tepat ketika baru saja kunci sepeda mulai menyalakan mesinnya.

"Adek, bisa minta tolong?" suaranya lirih, hampir hilang ditelan suara mesin.
"Iya, bapak? Ada apa, ya..?" jawabku setelah mematikan mesin motor untuk bercakap sebentar dengannya.
"Saya ini sedang bingung. Mau pulang tapi ngga ada ongkos."
"Pulang ke mana, Pak...?"
"Ke Nganjuk, dik."
Aku berfikir sejenak. Sekarang ini banyak orang belagak mencari simpati dengan meminta pertolongan seperti ini. Mungkin terinspirasi oleh reality show yang sering muncul di tipi. Ingin segera saja ku tolak permintaannya.
"Begini pak..,," ada seutas memori yang membuatku berhenti berkata. Penggalan cerita ketika suatu sore aku bercenkrama di teras rumah denganya.

"Kalau kamu ada uang lebih, jangan lupa untuk berbagi sedikit rizki mu."
"Tapi ada lho, pak. Orang-orang pengemis itu sebenarnya cukup kaya dengan rumah yang lebih mewah dari pada baju yang mereka pakai. Seolah mengemis itu menjadi sebuah pekerjaan untuk mereka."
"Yah, tapi tidak semuanya bernasib seperti itu, khan? Memberi itu memang harus sesuai dengan kata hati. Biarkan hatimu yang menyuruhmu bertindak saat itu."

Detik kemudaian tanganku merogoh saku celana belakang sebelah kanan, mengambil dompet yang terselip di sana. Menghitung uang yang ku persiapkan untuk membayar kost dan sisa uang makan untuk satu minggu ke depan sebelum tanggal gajian datang. Toh, tuhan juga tidak suka orang yang berlebih-lebihan, fikirku tentang takaran ikhlas yang bisa ku berikan.
"Ini pak.., Saya ada sedikit uang, mungkin cukup untuk naek kereta sampai ke Nganjuk." kuserahkan beberapa lembar uang puluhan. "Maaf ngga bisa nganter ke stasiun, ini masih ada janji sama orang."
"Iya dek. Makasih udah mau bantu bapak." Kemudian aku pergi meninggalkannya sendiri.

Manusia kadang bisa menjadi putih atau hitam karena memang mereka yang memilihnya. Tindakan atas momentum peristiwa hanyalah reaksi sepontanitas hasil dari pemikiran sesaat yang masih belum jelas akan dasar pemikiran. Apa yang kulakukan mungkin tidak bisa sepenuhnya menjadi putih karena keterbatasanku atas pemahaman tentangnya. Tapi setidaknya aku juga tidak mau menjadi hitam legam dengan mengacuhkan manusia di sekitarku. Setidaknya, menjadi abu-abu itu sudah cukup bagiku.

Hingga suatu hari, beberapa minggu setelahnya, aku bertemu dengan orang yang sama ketika keluar dari tempat peribadatan seperti sebelumnya. Lelaki paruh baya sedang duduk bersila tepat di sebelah sepasang sepatu hitamku.

"Maaf, dek..." suaranya lirih ketika aku sedang memakai kaos kakiku. "Saya bisa minta tolong sebentar...?"


Soerabaya, Akhir Bulan Ramadhan tahun 2012
Selamat Hari Raya Iedul Fitri Teman²...!!!
Mohon maaf lahir batin, ya...?!!

Comments