Cak Munir, si Pengaduk Kopi

Perawakannya pendek, dengan kulit sewarna kopi yang sedang diaduknya, munkin karena terlalu sering bekerja dibawah sinar matahari yang menyusup dr tenda warung kopinya. Seperti siang ini, ketika aku tengah menikmati batangan tembakau disela istirahat makan siang ku. Tangan kananya masih setia mengaduk kopi meski sudah 13 tahun ia menjalani pekerjaan yang sama. Baginya, hukum Allah masih berlaku untuk manusia yang tetap istiqomah pada jalanNya. Dia juga tak pernah khawatir dengan smua masalah yang sedang dihadapinya, seperti ketika siang ini ia bercerita tentang anak kebanggaan yang diterima di sebuah universitas negeri di Soerabaya. Tidak sepertiku, ia tak lagi memikirkan berapa banyak biaya yang harus ia keluarkan karena ia percaya...,,


'smua sudah ada yang ngatur, mas...,,' ucapnya sambil menyuguhkan kopi hitam di sebelah bunkusan rokok kretek ku.
'tapi kan, sampean sudah punya rencana, tho...??' tanyaku lagi sambil menuang kopi pada tatakan gelas bening.
'rencana pasti ada, mas. Tapi kan hasilnya nanti tetap Gusti Allah yang menentukanya...' jawabnya dengan penuh keyakinan.
'ah, yang penting kan sampean sudah berusaha, cak...' tambahku sekenanya.

Obrolan kami terus mengalir seputar persiapan memasuki jenjang perguruan tinggi. Bertanya saran, menyimak dengan penuh antusias dengan pandangan menerawang membayangkan kehidupan anaknya kelak. Bagi sebagian orang tua, pendidikan untuk anak mereka adalah jaminan kebahagiaan dimasa mendatang. Seperti Cak Munir, orientasi pendidikan yg tinggi bagi kebanyakan orang tua adalah pekerjaan yg layak untuk anak2 mereka. Hingga pada akhirnya mereka memaksakan si anak untuk mengambil jurusan yang tidak mereka sukai. Tapi bagiku, proses menuntut ilmu adalah pembentukan pola pikir untuk menjadi kreatif dalam menetukan arah tujuan hidup. Ditengah perjalanan nanti, sang anak pasti berfikir jalan terbaik untuk menuju masa depan. Hal inilah yang coba kusampaikan pada Cak Munir, karna menjadi apapun anaknya nanti tentu tak jadi masalah asalkan ia, sang anak, bisa menikmati kebahagiaanya.

Beruntunglah si anak bisa memiliki ayah, seperti cak Munir, yang mau membuka pikiranya. Seperti ayahku, yang tanpa kupinta pun ia telah mengerti keinginanku. Hanya saja, masih banyak orang tua yang terlalu kolot untuk berfikir betapa pentingnya proses menikmati menuntut ilmu. Dari sinilah, keberanian si anak untuk menjalin komunikasi sangat dibutuhkan. Semoga saja orang tua2 diluar sana mau mendengarkan.

Semoga...,,

Comments

  1. kirain Om munir yang blogger itu ^^

    orang tua yang bijak yah ^^
    semoga nanti bisa menjadi orang tua yang seperti itu juga ^^

    ReplyDelete
  2. amien,
    emang perlu belajar jadi orang tua yg bijak...,,

    btw, Munir yg ini ngga bisa nge`blog kok...,, :D

    ReplyDelete
  3. ;)), andai aja .. andai aja...

    semoga aku adalah salah satu kakak yang beruntung, yang punya adek bisa sekolah, meskipun aku ga pernah sekolah, tetep aja merasa beruntung ;))

    ReplyDelete
  4. semoga makna dari tuLisan di atas dapat ditiru oLeh para orang tua maupun bagi para caLon orang tua.

    ReplyDelete
  5. mampir lagi, blom nulis ya mas-nya ;))

    ReplyDelete

Post a Comment

Web blog ini menerima semua comment, critic, caci maki, umpatan, bahkan penghina`an.
Karena kebebasan berpendapat juga telah di atur dalam undang-undang.